Selasa, 03 Agustus 2010

Belajar Asyik Ala Anak-anak Disleksia

Pendidikan Anak Disleksia

KOMPAS.com
Selasa, 3 Agustus 2010 | 11:14 WIB

Meskipun memiliki IQ rata-rata 90 hingga 110 dan kecerdasan di atas rata-rata anak-anak normal, anak-anak disleksia memiliki kesulitan belajar seperti membaca, mengeja, menulis, dan berhitung. Namun, ada cara belajar yang asyik, yang bisa diterapkan oleh guru-guru pengajar anak-anak disleksia.

Belajar membaca merupakan pelajaran yang sulit dilakukan anak-anak disleksia. Hal itu dikarenakan membaca merupakan kegiatan yang melibatkan kemampuan visual-auditori mereka secara bersamaan, seperti kemampuan memberikan makna simbol-simbol yang ada, yaitu huruf dan kata.

Memang, secara karakteristik, anak disleksia kerap bingung membedakan antara arah kanan-kiri, sehingga hal itu akan mempengaruhi mereka membedakan huruf yang terlihat mirip seperti p, q, b, d. Mereka juga kerap merasakan terbolik-balik melihat huruf yang bentuknya mirip seperti 12 menjadi 21, atau kata kaki menjadi kika.

Pada usia dini, anak-anak disleksi tersebut kesulitan belajar sistem representasionalnya, seperti menyebutkan waktu, arah, dan musim. Untuk menangani hal ini, biasanya satu kelas cukup hanya diisi oleh 10 orang murid dan ditangani dua orang guru.

Tugas belajar yang diberikan juga tidak sama. Hal itu sangat tergantung para kemampuan anak dan membutuhkan cara belajar yang selalu kreatif serta penuh modifikasi.

“Misalnya, jika tidak bisa menggunakan cara a, kita gunakan cara b, namun tetap dengan target yang sama,“ ujar Wakil Ketua Asosiasi Disleksia Indonesia, Vitriani Sumiartis, kepada Kompas.com di Jakarta, Minggu (1/8/2010).

Metode penanganan

Vitri menuturkan, ada tiga model strategi pembelajaran yang bisa diterapkan pada anak-anak disleksia. Ketiga model tersebut antara lain Metode Multisensori, Metode Fonik (Bunyi), serta Metode Linguistik.

Menurut Vitri, metode Multisensori mendayagunakan kemampuan visual (kemampuan penglihatan), auditori (kemampuan pendengaran), kinestetik (kesadaran pada gerak), serta taktil (perabaan) pada anak.

Sementara itu, Metode Fonik atau Bunyi, memanfaatkan kemampuan auditori dan visual anak dengan cara menamai huruf sesuai dengan bunyinya. Misalnya, huruf B dibunyikan eb, huruf C dibunyikan dengan ec.

"Karena anak disleksia akan berpikir, jika kata becak, maka terdiri dari b-c-a-k, kurang huruf e" kata Vitri.

Sedangkan Metode Linguistik, lanjut Vitri, adalah mengajarkan anak mengenal kata secara utuh. Cara ini menekankan pada kata-kata yang bermiripan. Penekanan ini diharapkan dapat membuat anak mampu menyimpulkan sendiri pola hubungan antara huruf dan bunyinya.

"Seorang guru harus mampu membaca kemampuan anak didiknya. Guru harus dapat memonitor progres si anak, bagus atau tidak. Jika tidak bagus, bisa mengambil strategi khusus," jelas Vitri.

Dia melanjutkan, setelah 2-3 bulan melakukan berbagai treatment dan masih belum mendapatkan perubahan yang bagus, si anak bisa dibawa ke dalam kelas khusus anak disleksia. Hanya, si anak sebaiknya dicek terlebih dahulu.



Anda Perlu Membaca Juga Artikel-artikel Berikut:

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost Coupons