Jumat, 30 Juli 2010

Solusi Macet Jakarta Menurut Tiga Pakar

VIVAnews
Kamis, 29 Juli 2010, 15:48 WIB
Tiga solusi terintegrasi sebagai sebuah paket solusi macet jangka panjang, tidak parsial.

Tiga pakar dari berbagai bidang yang bergabung dalam Tim Visi Indonesia 2033 menggelar jumpa pers membahas kemacetan di Jakarta. Mereka menyimpulkan solusi kemacetan bukan pada penambahan infrastruktur jalan atau penambahan moda transportasi saja.

Ketiga pakar itu adalah Andrinof Chaniago, pakar kebijakan publik dari Universitas Indonesia; Jehansyah Siregar, pakar pemukiman dan transportasi dari Institut Teknologi Bandung; dan Tata Mustasya, yang mendapatkan master di bidang ekonomi dari sebuah universitas di Turin, Italia.

"Masalah kemacetan bukan semata-mata bersumber pada teknis transportasi semata," kata Andrinof Chaniago dalam jumpa pers di sebuah restoran di Jakarta, Kamis 29 Juli 2010. "Tidak cukup hanya dengan bangun jalan tol, menambah jalan, atau mengembangkan mass rapid transit," kata pakar kebijakan publik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia itu.

Kemacetan, kata Andrinof, muncul dari rendahnya hunian di tengah kota namun pada saat yang sama pekerjaan terpaku di tengah. Populasi Jakarta di siang hari, kata Andrinof, berbeda jauh dengan populasi di malam hari.

Solusinya, kata Tata Mutasya, harus dimulai dari pembenahan visi pemerintahan. Penyelesaian atas kondisi itu tidak bisa hanya diselesaikan dengan pendekatan program jangka pendek seperti pembangunan jalan baru, pembatasan sepeda motor atau pembangunan mass rapid transit sementara visinya tidak jelas.

Visi yang dimaksud Tata adalah, mengembangkan pola campuran pemukiman, tempat kerja dan wilayah komersial. Saat ini yang terjadi, pemerintah terkesan membiarkan saja pemukiman menyebar di luar kota, kemudian mereka mencari sendiri angkutan ke tengah kota untuk bekerja.

Jehansyah yang mendapatkan gelar doktor di bidang studi pemukiman dan transportasi di sebuah universitas di Jepang merinci lebih jauh, pemerintah harus melakukan tiga macam langkah strategis. Pertama, tentu saja, reformasi moda perhubungan.

"Semua moda transportasi harus dikembangkan secara sistematis, menyebar dan berjejaring sampai ke tingkat pemukiman," kata Jehan. "Transportasi harus bersifat mass rapid, tak mungkin seperti angkot."

Reformasi moda perhubungan ini kemudian terintegrasi dengan langkah strategis kedua, pembatasan superblok di tengah kota. Superblok-superblok di tengah kota, kata Jehan, berpotensi meningkatkan kemacetan.

Langkah strategis ketiga yang terintegrasi dengan dua sebelumnya adalah, dengan pembatasan superblok, yang harus dikembangkan adalah penataan lahan di simpul-simpul perhubungan. Di dekatnya, harus dibangun lahan parkir.

"Kemudian dalam radius satu kilometer dari simpul perhubungan seperti Pasar Minggu, Blok M, dibangun perumahan vertikal yang murah," ujarnya. Ini gunanya, kata Jehan, supaya penghuninya cukup berjalan kaki atau bersepeda ke simpul perhubungan tadi untuk menuju ke tempat kerja.

"Di Jepang, ketika Japan Railway membuka stasiun baru, maka lahan dalam radius satu kilometer di sekitarnya pasti digarap Perumnasnya Jepang," kata Jehan. Apartemen-apartemen sederhana dan murah bisa menampung ratusan ribu orang, katanya.

Ketiga langkah strategis ini, kata Jehan, bisa dilakukan jika Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta secara terbuka dan transparan membuka persoalan kemacetan ini. "Hindari perdebatan tak perlu, ajak semua pihak seperti PT KAI, Perumnas, pengusaha transportasi, duduk bersama," ujar Jehan. Kemudian untuk implementasi, diperlukan sebuah Peraturan Daerah untuk menggarap tiga langkah strategis tersebut.



Anda Perlu Membaca Juga Artikel-artikel Berikut:

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost Coupons